Bahasa Sastra

Hai huahaha.. 
Selamat berhari minggu yaw. Boring dan nggak tau mau ngapain, dan akhirnya kepikiran buat ngepost tugas bahasa sastra Indonesia. Yang mau make buat tugas, monggo..

♥ Indah 
Kuamati diam-diam orang yang berada disampingku ini. Rambutnya yang hitam kecokelatan sengaja dibiarkan sedikit panjang, gaya anak kuliahan sepertinya. Bak magnet, wajah tampannya seakan menarik perhatianku untuk selalu memandanginya. Matanya bagaikan bulan purnama. Bulat, tanpa cacat. Hidungnya tidak begitu mancung. Bibirnya yang sedang berkomat-kamit menghafalkan rumus fisika itu, hmm... bagaikan buah delima yang sedang merekah. Merah, tapi merah alami, bukan merah karena polesan lipstick. Tentu saja karena dia cowok tulen, jadi dia tidak mungkin memakai lipstick. Ada-ada saja. Dan inilah yang selalu menarik perhatianku, lesung pipi yang tertanam di kedua pipinya. Tersenyum sedikit saja, pipinya langsung melekuk dan seperti membentuk sebuah lesungan yang mampu membuat setiap orang dibuat terpesona olehnya. Termasuk aku...

Jahat
Aku menangis tertahan melihat peristiwa yang kini terpampang nyata di hadapanku. Tega-teganya Ayah berbuat seperti itu kepada Ibu. Plak! Satu tamparan keras dari tangan Ayah dan mendarat mulus tepat di pipi kiri Ibu. Wajah Ibu seakan terlempar ke sisi kanan. Ibu hanya bisa memohon tanpa adanya perlawanan. Bukannya berhenti menyakiti Ibu, Ayah malah semakin menggencarkan siksaan pada Ibu. Dijambaknya rambut Ibu yang mulai memutih termakan usia. Sumpah serapah dan kata-kata kotor yang ditujukan kepada Ibu terus meluncur dari mulut Ayah. Kasihan Ibu, hanya karena masalah kecil Ayah bisa sedemikian murkanya. Lagipula, memangnya aku bisa apa? Mau melawan Ayah juga tidak berani. Aku hanya bisa mengintip dan bersembunyi di balik kamar saja...

Tidak bertanggung jawab
Semilir angin pantai membelai-belai rambut panjangku. Agaknya ketenanganku sedikit terusik oleh kehadiran orang di sebelahku. Ternyata orang itu ialah Ayu, sahabatku. Sesuai dengan namanya, wajahnya yang ayu dan manis selalu membuat setiap orang dimabuk kepayang olehnya. Sampai pada akhirnya dia dihamili oleh kekasihnya sendiri. Dan setelah kekasihnya mengetahui kehamilan Ayu, lelaki bejat itu langsung menghilang dari tanah Bali ini tanpa jejak dan hilang bak ditelan bumi. Ayu sudah berusaha menghubungi kekasihnya itu, tapi nihil. Kekasihnya melarikan diri dan tidak mau menikahinya. Kasihan Ayu. Aku tak paham apa yang ada di pikirannya sampai ia berani berbuat seperti itu. Kulihat dia tersenyum kepadaku. Dia mengelus-elus perutnya yang kian hari kian membesar. Terbesit rasa ragu dibenakku, akankah Ayu sanggup menerima kenyataan kelak anaknya lahir tanpa ayah? Akankah Ayu bisa tegar menghadapi semua cacian dan makian?

Terkenang selalu
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya aku bisa menjejakkan kakiku di taman ini. Taman inilah taman dimana kita saling mengungkapkan rasa. Rasa yang kita pendam selama beberapa tahun, tanpa ada yang saling menyinggung soal hati dan perasaan. Dan tak kuduga, hari itu kau seberani itu mengungkapkan perasaanmu kepadaku. Sungguh waktu itu rasanya ingin melompat-lompat kegirangan, untungnya aku tidak lupa diri dan menjaga gengsiku di depanmu. Aku ingat, kau terpeleset di dekat pohon besar itu saat berusaha mengagetiku. Sungguh konyol. Dan aku suka kekonyolan itu. Aku juga ingat, saat itu kau mengenakanku jaket kulit ini ketika aku mulai bergidik kedinginan. Perlahan aku peluk jaket ini erat-erat. Ah... mengingat akanmu, selalu membuatku senyum-senyum tak jelas saja. Tapi mengingatmu juga sekaligus membuatku sedih, mengapa kau meninggalkan aku dan duniamu secepat itu?

Setia
Waktu sudah petang. Sudah mau maghrib rupanya. Aku melangkah kakiku dengan tergesa menyelusuri jalan tak beraspal ini, sambil mataku melirik ke arah kanan dan kiriku yang ternyata adalah sebuah pemakaman umum. Akupun agak merinding. Tiba-tiba saja mataku tertuju pada seorang wanita yang tengah bersimpuh di sebuah makam. Aku heran, apa saja yang ia lakukan setiap hari di makam almarhum suaminya itu? Hampir 10 tahun aku melihatnya seperti itu di setiap harinya tanpa absen seharipun. Apa ia masih belum bisa merelakan kepergian suaminya? Sebegitu dalamnya kah rasa cintanya kepada suaminya? Lalu, mengapa ia tak mencari laki-laki lain sebagai pengganti almarhum suaminya? Sungguh aku tak mengerti apa yang menjadi jalan pikirannya...

Post a Comment